Jumat, 13 November 2009

KESENIAN GANDRUNG BANYUWANGI

1. Banyuwangi dilihat dari Topografi Seni dan Budayanya

Kesenian Gandung adalah merupakan salah satu lambang dan bukti dari sisa perkembangan seni budaya dari kehidupan jaman kekeratonan Blambangan.

Bentuk suatu kesenian Gandrung ini, terdapat juga di Bali, yaitu suatu daerah yang pada masa dahulu cukup lama hidup berdampingan dengan Blambangan. Secara historis memang Bali juga merupakan pewaris dari unsur-unsur kebudayaan Majapahit, yang masih dapat dilihat sampai sekarang. Bahkan sebagian besar rakyat Bali beranggapan bahwa mereka adalah penerus jalur sejarah mulai dari jaman kediri sampai Majapahit.

Pada waktu Blambangan dan Bali menjalin hubungan, dapat dipergunakan untuk menggambarkan aktifitas dan penghayatan seni budaya yang memiliki unsur-unsur yang sama. Hal ini disamping dipengaruhi oleh unsur-unsur historis, juga oleh letak geografis yang berdekatan, walaupun kemudian Blambangan mengalami perkembangan yang lain dengan Bali.

Unsur-unsur inilah yang merupakan sebab bahwa Blambangan dan Bali memiliki unsur-unsur kebudaya an yang sama, antara lain Grandrung, Sanyang atau Sang Hyang dan beberapa bentuk unsur tehnis permainan suatu jenis kesenian.

2. Potensi Seni dan Budaya Banyuwangi

Sebagai wilayah yang dihuni oleh berbagai etnis Banyuwangi tentunya sangat kaya akan potensi seni budaya serta adat istiadatnya. Hampir semua etnis yang tinggal di Banyuwangi sangat peduli terhadap budaya tradisionalnya. Dalam prakteknya mereka ada yang masih membawakan seni tradisionalnya secara utuh namun ada pula yang telah berakulturasi dengan seni budaya tradisional dari etnis lain maupun seni modern sehingga memperkaya khasanah budaya yang hidup dan berkembang di Banyuwangi.

Hingga saat ini kesenian yang hidup dan berkembang di Banyuwangi yang merupakan kesenian asli maupun hasil dari akulturasi budaya antar etnis yang sangat digemari oleh masyarakat adalah sebagai berikut :

a. Gandrung ;

b. Angklung Caruk ;

c. Angklung Paglak ;

d. Angklung Blambangan ;

e. Kuntulan ;

f. Hadrah ;

g. Gedogan ;

h. Bordah ;

i. Patrol ;

j. Barong Teater ;

k. Barong arak-arakan ;

l. Damarulan / Jinggoan / Janger ;

m. Bali-balian / Balaganjur ;

n. Praburoro / Rengganis ;

o. Jaranan Buto ;

p. Jaranan Pegon ;

q. Reog ;

r. Mocoan Pacul Goang / Campursari Banyuwangen ;

s. Campursari Jowoan ;

t. Tabuhan Bonang/Pesisiran ;

u. Wayang Kulit ;

v. Ludruk ;

w. Ajing ;

x. Barong Sai ;

y. Wayang Topeng ;

z. Seni Bela diri Pencak Silat ;

aa. Jaran Kencak ;

bb. Kendang Kempul ;

cc. Orkes Dangdut ;

dd. Keroncong ;

ee. Samroh ;

ff. Gambus ;

gg. Marawis ;

hh. Zapin.

ii. Teater Modern ;

Sedangkan tradisi masyarakat yang masih dipelihara dan dilaksanakan dan tak terpisahkan dengan kepercaya an masyarakat antara lain :

a. Upacara adat Seblang (Desa Olehsari dan kelurahan Bakungan) ;

b. Petik Laut ;

c. Kebo-keboan (di desa Alas Malang dan Desa Aliyan) ;

d. Rebo Wekasan ;

e. Gredoan ;

f. Barong Ider Bumi ;

g. Puter Kayun ;

h. Mocoan Lontar ;

i. Resik Kagungan ;

j. Resik Lawon ;

k. Endhog-endhogan ;

l. Manjer Kiling ;

m. Ngarak Jodhang ;

n. Cap go mek ;

o. Mantu Kucing ;

p. Ruwatan.

3. Asal-usul Kesenian Gandrung

Pada suatu penyelenggaraan upacara di istana Majapahit, sering dipentaskan suatu bentuk tarian istana yang dikenal dengan istilah “juru I angin”, yaitu seorang wanita yang menari sambil menyanyi dengan sangat menarik. Penari tersebut diikuti oleh seorang “buyut”, yaitu seorang pria tua yang berfungsi sebagai panakawan penari juru i angin tersebut.

Bentuk tarian inilah yang mungkin sebagai asal dari perkembangan kesenian gandrung. Hal ini dapat dibuktikan bahwa penari Gandrung selalu diikuti oleh seorang pemain kluncing yang selalu melawak dengan bentuk-bentuk lawakan yang berhubungan dengan tarian Gandrung yang sedang dimainkan.

Hal tersebut sangatlah mungkin, sebagaimana diungkapkan oleh Drs.Sri Soeyatmi Satari, bahwa pada jaman kehidupan kerajaan-kerajaan maka daerah-daerah yang jauh dari pusat kerajaan perkembangan seni budayanya mengikuti garis besar pola seni budaya pusat.

Ciri unsur keistanaan yang terdapat dalam bentuk kesenian Gandrung dapat dibuktikan sampai sekarang, antara lain dalam hal busana ( peralatan pakaian ), rias dan bentuk-bentuk nyanyiannya, yaitu bentuk teknis pembawaan lagu-lagu atau vokalnya yang memberikan kesan bentuk seni vokal pada jaman kehidupan kerajaan-kerajaan Blambangan jaman dahulu.

Dalam suatu masa perkembangan kesenian Gandrung ini sampai tahun 1890 di daerah Blambangan berkembang suatu bentuk kesenian Gandrung yang penarinya terdiri dari anak laki-laki yang berumur antara 7 sampai 16 tahun. S. Surawijaya menerangkan , bahwa di antara mereka ada yang sampai umur 14 tahun, dengan berpakaian wanita.

Pementasan kesenian Gandrung laki-laki pada masa itu dilakukan dengan jalan keliling desa-desa, kemudian penari tersebut mendapatkan imbalan inatura berupa beras dan sebagainya. Sedangkan gamelan pengiringnya terutama menggunakan kendang dan terbang. Hal itu mirip dengan yang terdapat di Aceh, Jawa Tengah, Madura dan bali dengan nama yang berbeda-beda untuk menyebutkan suatu jenis peralatan musik yang sama.

Penari Grandrung laki-laki yang paling mashur bernama Marsan, yang kalau penari Gandrung laki-laki yang lain hanya mampu bertahan sampai usia sekitar 16 tahun, tetapi Marsan dapat bertahan sampai umur 40 tahun dan tetap sebagai penari Gandrung pria sampai pada akhir hidupnya.

Pementasan Gandrung pria itu biasanya dilakukan pada waktu malam hari, terutama pada bulan purnama di halaman terbuka. Pemilihan partner menarinya, diatur dengan melemparkan ujung sampur kepada para penonton yang mengelilinginya, dengan urutan dari Barat, kemudian Timur, Selatan dan kemudian bagian penonton yang sebelah utara. Kesenian Gandrung pria ini pernah ditampilkan dalam bentuk 4 orang penari bersama-sama.

DR. Th. Pigeaud menjelaskan bahwa bentuk tarian 4 pria itu merupakan kepribadian masyarakat di madura, dan jawa sebelah timur sepanjang pantai, yang telah hidup sejak waktu yang lama.

Alasan pemilihan dan penampilan penari-penari pria berpakaian wanita dan penggunaan instrumen pertama berupa terbang itu memberikan suatu asumsi dengan kegiatan bentuk-bentuk kesenian yang berkembang dan berorientasi kepada unsur-unsur keagamaan islam, yang kebetulan pada sekitar abad ke XVIII mulai berkembang di daerah Blambangan.

Alasan mengapa dipilihnya penari pria berpakai an wanita, dapat diduga dengan memperbandingkan evolusi yang terjadi pada bentuk-bentuk kesenian Damarulan, Ketoprak, Ludruk dan kesenian-kesenian lainnya. Lama-kelamaan dipilihlah penari wanita yang sesungguhnya untuk melakukan peranan wanita. Hal itu terdapat di daerah Blambangan dan juga di daerah-daerah lain di Indonesia.

Suatu hal yang merupakan kebiasaan yang tetap hidup sampai sekarang ialah tentang digunakannya kesenian Gandrung untuk keperluan hiburan pada suatu acara pesta dan juga suatu kebiasaan bagi calon penari partner ( pemaju ) biasanya selalu memberikan sekedar uang sebagai tombok. Kebiasaan itu mungkin dimulai sejak jaman dahulu, hanya dalam bentuk tomboknya yang mengalami perubahan sesuai dengan situasinya.

Pada perkembangan berikut, mungkin juga dipengaruhi oleh perkembangan adat-istiadat pendu duk, maka pada tahun 1895 diangkatlah penari Gandrung wanita yang kebetulan berasal dari penari Seblang. Riwayatnya sebagai berikut :

“Sebagai peninggalan masa kejayaan Blambangan pada jaman Hindu ternyata sampai dengan sekitar tahun 1850 di desa cungking dan sekitarnya masih hidup suatu bentuk masyarakat yang mutlak menganut agama ciwa, Di dalam masyarakat itulah hidup suatu jenis kesenian yang ada hubunganya dengan unsur-unsur magis religius yang disebut Seblang. Jenis kesenian ini terkenal sejak jaman dahulu dan terdapat di desa Bakungan dan Ulih-ulihan (Olehsari).

Salah satu kebiasaan yang hidup pada kesenian Seblang itu adalah memberikan sarana kesembuhan secara magis kepada orang yang sakit atas permintaan keluarganya. Biasanya kalau salah satu anggota keluarga mengalami sakit, maka tersembullah suatu ucapan yang merupakan nadhar , bahwa kalau si sakit sembuh maka akan diundang kesenian Seblang untuk mengadakan pementasan di tempatnya yang menurut istilah Osing “ditanggapaken Seblang”.

Jadi kesenian seblang pada saat itu sering dipentaskan untuk memenuhi kebutuhan acara nadar dan untuk memberi pertolongan secara magis sesuai dengan kepercayaan masyarakat pada saat itu serta untuk keperluan upacara-upacara yang lain.

Pada suatu saat puteri seorang penduduk dukuh Cungking yang bernama Semi mengalami sakit keras dan tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Kemudian Mak Midah (ibunya) menyampaikan ucapan kepada Semi yang sedang sakit tersebut sebagai berikut : ” Kadung sira mari, sun dadekaken seblang, kadung sira sing mari ya osing”.

Terjemahannya sebagai berikut :” kalau engkau sembuh, akan kujadikan seblang, tetapi jika tidak sembuh ya tidak ”.

Kebetulan setelah itu semi sembuh dari sakitnya dan untuk memenuhi ucapan mak Midah maka kemudian semi dijadikan penari seblang.

Dalam penampilan-penampilan semi sebagai penari seblang, biasanya dilakukan dengan jalan Semi menari dan mak Midah ikut mengiringinya dengan menyanyikan lagu-lagu atau gending-gending. Ternyata kemudian banyak orang yang mengaguminya dan selanjutnya setiap malam diusahakanlah oleh orang-orang sekitarnya untuk diadakannya pementasan kesenian seblang tersebut. Dengan sendirinya makin lama Semi makin pandai karena terbiasa membawakan tariannya, sehingga tergeraklah hati mak Midah untuk menciptakan gending-gending atau lagu-lagu guna memenuhi kebutuhan Semi sebagai penari seblang tersebut.

Kemudian timbullah gagasan dari orang-orang sekitarnya untuk menjadikan Semi sebagai penari gandrung dan untuk itu berusahalah mereka mengumpulkan uang untuk membeli peralatannya guna memenuhi kebutuhan tersebut. Dan kemudian sejak inilah semi mulai tampil sebagai gandrung dan sejak itu pula jumlah adanya penari gandrung pria berangsur-angsur kurang dan kemudian tidak ada sama sekali.

BAB II

GANDRUNG DILIHAT DARI BERBAGAI ASPEK

1. Aspek Perjuangan

Sebagai kesenian yang hidup dan berkembang dikalangan rakyat mulai jaman kerajaan, masa penjajahan sampai dengan sekarang, maka tidak lah sedikit peranan kesenian gandrung pada masa perjuangan. Pada setiap penampilan kesenian gandrung pada masa perjuangan dijadikan sebagai ajang berkumpulnya para pejuang dan melalui sarana tersebut pusat informasi dan pembangkit semangat para pejuang yang disampaikan melalui gending-gending yang dibawakannya dan dengan gending-gendingnya pula berbagai informasi yang merupakan kata sandi disampaikan kepada para pejuang, itulah andil dari kesenian gandrung pada masa perjuangan.

Disamping itu keberadaan kesenian Gandrung ditengah-tengah masyarakat sangat besar peranannya terutama dengan penampilannya, tarian-tariannya dan gending-gendingnya yang merebut hati masyarakat dan sangat menarik membuat kesenian gandrung dapat berfungsi sebagai filter masuknya budaya asing yang tidak sejalan dengan adat dan budaya masyarakat Banyuwangi. Hal ini perlu disadari bahwa peranan kesenian gandrung dalam membendung masuknya budaya luar yang bertentangan dengan budaya masyarakat Using sebagai suatu bentuk perjuangan yang tidak bisa diremehkan dan perlu mendapat penghargaan tersendiri.

2. Aspek Sosial Masyarakat

Kehidupan kesenian gandrung yang memang ber akar dan didukung oleh masyarakat tentunya memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan social masyarakat. Setiap penampilan kesenian gandrung selalu dihadiri para penggemarnya yang terdiri dari berbagai etnis dan agama, mereka bersama-sama menikmati tarian dang gending-gending gandrung dalam satu arena secara damai, hal ini secara tidak langsung merupakan wahana untuk saling berinteraksi diantara satu etnis dengan etnis yang lain tanpa ada pesinggungan tata nilai masing-masing etnis, oleh karenanya kesenian gandrung juga bisa dijadikan sebagai salah satu alat pemersatu bangsa.

Perlu disadari bahwa menciptakan rasa kesatuan dan persatuan dari masyarakat multi etnis merupakan hal sangat penting dan menjadi tanggung jawab bersama, kegiatan-kegiatan berkesenian mempunyai daya tarik yang besar untuk mengikat rasa persaudaraan tidak terkecuali kesenian gandrung.

3. Aspek Seni dan Budaya

Sebagai salah satu jenis kesenian yang hidup dan berkembang berdampingan dengan bentuk kesenian yang lain, kesenian gandrung masih menempati posisi yang cukup baik di hati masyarakat. Tidak sedikit inspirasi terciptanya jenis-jenis tari dan gending baru yang diilhami dari kesenian gandrung.

Keberadaan kesenian gandrung memperkaya khasanah budaya tradisional Banyuwangi. Penampilan nya yang sangat dinamis mempengaruhi bentuk-bentuk penampilan pada jenis kesenian yang lain, hal ini dapat dilihat dari berbagai kesenian khas Banyuwangi memiliki corak penampilan yang hampir sama dina misnya. Tidak jarang pada pementasan kesenian lain seperti Damarulan, Praburoro, Barong teater dan kesenian lain selalu diisi dengan penampilan Jejer Gandrung yang merupakan salah satu penampilan dari kesenian gandrung, hal ini menandakan bahwa kesenian gandrung diterima oleh masyarakat dan mudah berinteraksi atau mudah berakulturasi dengan kesenian yang lain.

4. Aspek Ekonomi

Setiap penampilan kesenian gandrung paling tidak akan melibatkan 6 pemain musik dan 1 orang sampai 5 orang penari gandrung, hal ini belum termasuk petugas pengatur sound system, genjot dan lain-lain yang secara tidak langsung merupakan lapangan pekerjaan yang melekat dan dapat memberikan nafkah kepada mereka. Belum lagi efek ikutan yang terbawa dengan adanya pementasan kesenian gandrung seperti ramainya para pedagang makanan dan mainan yang ikut bergabung meramaikan setiap pementasan, akan mempercepat perputaran roda ekonomi di kalangan masyarakat luas.

Hal lain yang dapat membawa pengaruh terhadap berputarnya perekonomian masyarakat adalah bahwa dengan hadirnya kesenian gandrung ditengah-tengah masyarakat maka timbul kreasi-kreasi seni yang bersumber dafri kesenian gandrung, sehingga disekolah sekolah, sanggar-sanggar tari ikut membuka lapangan kerja melalui kebutuhan pelatih-pelatih tari dan perajin-perajin pakaian gandrung yang sangat luas cakupannya dan secara ekonomis membawa dampak yang sangat besar terhadap meningkatnya perekonomian di kalang an masyarakat luas.

5. Aspek Etnis dan Religius

Gandrung adalah merupakan kesenian asli etnis Using yang telah hidup dan berkembang sejak jaman kerajaan, nilai tradisi ke-Using-an yang dibawakan dalam kesenian gandrung sangat kental sekali. Dari kedinamisan musik yang dimainkan dan lagu yang dinyanyikan sulit untuk ditiru oleh etnis lain. Syair-syairnya pun menggunakan bahasa Using dengan pengucapannya yang sangat khas, walaupun beberapa gending etnis lain sering juga yang dibawakan dalam penampilan kesenian gandrung namun logat yang dipakai tetap kelihatan sebagai etnis using. Oleh karena itu kesenian Gandrung ini bisa dijadikan sebagai Maskot seni tradisional etnis using.

Salah satu ciri khas kesenian gandrung sebagai seni tradisional yang memiliki tanggung jawab secara moral dalam ikut menjaga keserasian hubungan antara kegiatan seni dan kegiatan keagamaan diantaranya :

a. Pementasan kesenian Gandrung selalu diawali sesudah pelaksanaan sholat Isa’ dan selesai sebelum waktu subuh sehingga tidak mengganggu pelaksanaan ibadah bagi umat islam.

b. Gendhing-gendhing yang dibawakan sebelum berakhirnya pertunjukan yaitu gendhing Seblang Subuh yang disamping berisi kisah-kisah penderitaan seorang gadis petani dalam menjalin asmara juga penderitaan pada masa penjajahan juga berisikan pesan-pesan moral kepada penonton maupun masyarakat untuk selalu menjaga kerukunan diantara sesama, menjalankan perintah agama sesuai dengan yang dianutnya dan menjaga lestarinya budaya leluhur serta tradisi masyarakat nya.

Dari hal-hal tersebut diatas maka dari segi etnis kesenian gandrung merupakan kekayaan msyarakat suku using yang patut dipelihara dan dilestarikan keberadaannya, sedangkan secara religius kesenian Gandung mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap kualitas moral sumber daya manusia.

BAB III

BENTUK PAGELARAN KESENIAN GANDRUNG

Pementasan jenis kesenian Gandrung ini biasanya diselenggarakan pada malam hari mulai jam 21.00 sampai jam 04.00 pagi. Kadang-kadang juga pada siang hari menyesuaikan dengan kebutuhan suatu acara tertentu. Penggunaanya antara lain untuk keperluan hiburan suatu peralatan atau keperluan hiburan lain. Sedangkan kedudukan penari Gandrung berfungsi sebagai media bagi tuan rumah atau yang punya hajad dalam menjamu tamunya., Yaitu lewat bentuk-bentuk tarian sesuai dengan gendingnya. Dalam pementasan kadang-kadang seorang penari Gandrung mampu membawakan beberapa puluh gending, tentu saja menurut kamampuan penari.

Tentang urutan penampilan dan gending-gending yang dibawakan dalam pementasan semalam suntuk itu adalah sebagai berikut :

1. Jejer Gandrung

Jejer gandrung merupakan tari pembuka, Jejer berarti mulai, dimaksudkan adalah dengan tarian ini menandakan bahwa kegiatan pergelaran kesenian gandrung dimulai. Atraksinya dengan berdiri ditengah-tengah kalangan (arena) selanjutnya melantunkan gending yang berjudul padha nonton dengan membentangkan sebuah kipas dihadapannya seperti layaknya orang yang sedang membaca puisi. Sewaktu melantunkan lirik-lirik berikutnya peragaan gandrung sedemikian indahnya dan peragaan yang disajikan merupakan gerakan tari yang diwarnai seni pantomim sebagai penjabaran setiap lirik dari gending-gending yang dilantunkan karena sastra “ Prasemon “ (tersusun dalam bahasa lambang). Gending padha Nonton ini harus dibawa dalam babak pertama “ Jejer “ dan tersusun sebanyak delapan bait dan setiap baitnya terdiri sebanyak empat lirik. Dan ditutup dengan gending Kembang menur.

2. Ngrepen / Repenan

Setelah Gandrung selesai membawakan tari jejer Gandrung dan gendhing-genmdhing yang berkaitan dengan tarian itu maka dengan diantar oleh seorang pramugari yang disebut “Gedhog” penari gandrung turun dari pentas dan mendatangi tamu sesuai yang ditujukkan oleh gedhog yaitu untuk Ngrepen/Repenan yang merupakan salah satu acara dalam pementasan kesenian Gandrung, pada acara ngrepen/repenan ini penari gandrung duduk bersama tamu untuk membawakan gendhing-gendhing atas permintaannya, sebelum tamu tersebut ikut menari diatas pentas. Biasanya setelah berakhirnya gendhing yang dibawakan tamu meletakkan sejumlah uang diatas talam sebagai penghargaan atau imbalan atas permintaan gendhing tadi.

3. Paju atau Maju Gandrung

Dalam pengaturan urutan menari bagi para tamu, biasanya diatur oleh seorang pengatur acara yang biasanya disebut “pramugari” atau “Gedhog” sebagaimana yang dilakukan pada acara ngrepen tadi.

Gedhog inilah yang membagikan giliran menari bersama penari Gandrung, yang biasanya didasarkan atas kedudukan individu tamu tersebut didalam masyarakat. Sebagai contoh bagi individu yang mempunyai kedudukan sebagai pejabat atau penguasa tertinggi dilingkunganya mendapat giliran yang pertama, diantara tamu yang lain. Dan selanjutnya menurut urutan yang lebih rendah. Kalau sudah tidak ada lagi urutan menurut kedudukan itu maka sebagai bahan pertimbangan dipergunakanlah urutan kedatangan tamu tersebut dalam pesta itu. Bagi yang lebih dahulu memasuki tempat peralatan itu. Dialah yang berhak menerima giliran lebih dahulu pula. Namun berdasarkan tradisi yang berlaku, jika acara mengundang gandrung dalam rangka pesta perkawinan, yang menerima Sampur untuk pertama kalinya adalah Penganten Pria sebagai penghormatan atau tuan rumah yang punya hajat. Biasanya oleh penganten pria atau oleh tuan rumah diwakilkan kepada orang lain yang masih ada hubungan family dengan tuan rumah. Tetapi jika penganten pria bersedia menari, hanya sekedar formalitas yang dilakukan sebentar kemudian kembali ke pelaminan yang diantar oleh gedhog.

Gedhog dalam mengatur giliran tersebut biasanya dilakukan dengan jalan menari dahulu seperlunya dengan membawa lengser (talam) yang diatasnya terletak sehelai sampur yang sengaja disediakan, untuk calon penari utama pada giliran itu. Pembawa talam kadang-kadang dilakukan juga oleh penari Gandrungnya. Gerakan Gedhog itu diikuti oleh penari Gandrung, menuju ketempat calon penari utama. Setelah sampur tersebut diterimakan kepada calon penari utama, maka tamu tersebut menyampaikan sekedar sumbangan yang berupa uang kepada tuan rumah yang ditaruh diatas talam, disamping itu kepada Penari Gandrung di berikan juga sejumlah uang yang berfungsi sebagai pembeli gending Ngrepen Kemudian Gandrung menyanyikan ditempat itu juga sebelum calon penari utama itu berdiri. Kadang-kadang uang itu diberikan setelah gending atau lagu permintaan tersebut dinyanyikan.

Barulah calon penari utama menuju ke arena yang diikuti oleh 2 atau 3 orang tamu yang lain untuk menari bersama-sama. Tamu-tamunya yang menyertai penari utama ini disebut “nglarehi” meskipun demikian mereka dapat juga memindah atau meminta gending baru sebagai pengganti gending yang sedang ditarikan, dengan jalan memberikan sejumlah uang kepada penari gandrung atau kepada Niyogonya inilah yang dikenal dengan istilah “uwul” yang artinya meminta tambahan atau ganti gending. Hal inilah yang meyebabkan kadang-kadang waktu yang digunakan oleh seorang penari utama berlangsung lebih lama dan mengakibatkan ketidakpuasan tamu-tamu lainya. Kalau sampai terjadi hal yang demikian maka Gedhog memegang peranan yang penting untuk pengendalianya, sebab kalau sampai terjadi kekeliruan pemberian kesempatan kepada tamu umpamanya tentang urutan yang terbalik, kadang-kadang dapat menimbulkan keributan, atau paling tidak timbulnya perasaan tidak puas dari para tamu tersebut.

Pada acara Paju Gandrung ini ada istilah “Njaban” yaitu setelah semua tamu yang ikut menari atau Maju gandrung habis, jika waktu masih dirasa cukup maka gedog tadi memberi kesempatan kepada penonton untuk ikut menari Paju Gandrung. Biasanya bagi penari paju Njaban ini memberikan tombokan atau Uwul takkan diatas baki yang dibawa oleh gedog.

4. Seblang-Seblangan.

Pada akhir pertunjukan yang biasanya menjelang subuh acara di tutup dengan ditampilkan bentuk tarian seblang-seblangan yang pada dasarnya menirukan beberapa gerak dalam tari seblang yang sebenarnya. Secara garis besar gerak yang dipertontonkan mirip gerak seorang wanita dari lingkungan masyarakat petani.

Sebagian dari ragam geraknya berthemakan pemujaan terhadap Dewi Sri yaitu dewi kemakmuran bagi masyarakat agraris yang kedudukanya sama dengan Dewi ceres bagi masyarakat Yunani.

Tari seblang-seblangan tersebut diselenggarakan pada waktu menjelang pagi, sebab pada waktu itu biasanya para wanita termasuk gadis-gadis petani dilingkungan orang yang punya hajad sudah bangun, sehingga mereka dapat menyaksikan tari seblang-seblangan tersebut. Bagi mereka yang dapat mendalami arti pantun-pantun dan gerak tarian seblang-seblangan banyak yang menjadi terharu dan bahkan kadang-kadang sampai mencucurkan air mata. Tetapi hal yang semacam ini sama sekali tergantung pada kemampuan penonton untuk menangkap arti tarian dan juga pada penari gandrung sendiri didalam membawakan tariannya. Keadaan itu semua kemungkinan disebabkan oleh arti dari pantun-pantunya yang menggambarkan : cinta yang tak terbalas, impian cinta , mabuk cinta karena guna-guna dan sebagainya yang pada umumnya hal ini mudah untuk menyentuh hati para wanita yang melihatnya.

Disamping itu pantun-pantunnya mengandung arti penyesalan atas hilangnya kejayaan yang pernah dimiliki pada masa sebelumnya dan juga bertujuan untuk membangkitkan kesadaran para pendengarnya atas penderitaan yang dialaminya. Mungkin hal ini erat hubunganya dengan masa penjajahan.

Penampilan dari seblang-seblangan dalam kesenian Gandrung merupakan kenang-kenangan yang membanggakan baik bagi mak Semi sendiri maupun bagi mak Midah. Mak Midah adalah yang Semi sebagai penari gandrung setelah mengalami ketenaran sebagai Penari Seblang. Inilah kemudian ditiru oleh penari-penari gandrung yang sekarang. Pada waktu kesenian gandrung itu berkembang, kesenian Seblang masih hidup dengan baik sampai sekarang.

Berdasarkan itu semua dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masuknya tari Seblang-seblangan kedalam kesenian gandrung bukan merupakan peleburan kesenian seblang menjadi kesenian gandrung.

Dalam pelaksanaan seblang-seblang atau seblang subuh, biasanya didapati penambahan property yang cukup unik. Sebuah lidi kecil yang digunakan semacam menyapu lantai atau pentas bekas menari dengan maksud membersihkan segala godaan hisup membawakan gendhing dengan maksud yang tersirat menyapu bersih sampah masyarakat penjajah belanda.

Dalam syair-syair suatu gendhing antara lain :

- Jaran Dawuk ya nyiriga

Nyiriga ring alun-alun

Wis wayahe widodari teka

- Condro dewi mandosia

Moro mundur mekar sore

Kembang petetan

- Yyadu paman wis aju kelendi

Ngranjang gula wis wayahe erek-erekan

Terjemahan bebasnya sebagai berikut :

- Kuda kelabu bergeraklah

Bergerak dilapangan

Sudah saatnya seorang bidadari hadir

- Wajah wanita cemerlang

Maju mundur berkembang sore hari

seperti bunga hiasan

- Ya Paman lalu bagaimana

Keranjang gula sudah saatnya berhadapan

Kesenian Gandrung kecuali sering digunakan untuk keperluan pesta-pesta juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan upacara-upacara rituel yang sampai sekarang, sebagai contoh dalam upacara petik laut di Muncar dan Wonorejo serta ditempat-tempat lain.

BAB IV.

BUSANA, MUSIK PENGIRING DAN GENDING GANDRUNG

1. Busana Gandrung dan Tata rias

Tentang bentuk busananya mirip dengan pakaian temanten putri pada waktu itu, pada saat akan memasuki upacara” temu antara lain berupa :

· Omprog atau pernah disebut “omprong” yaitu hiasan kepala seperti mahkota yang dibuat dari kulit lembu dengan berbagai ragam pahatan, serta diberi rumbai pada bagian belakang sebelah bawah yang dihiasi dengan warna kuning emas, di bagian atas dihiasi kembang goyang yaitu bentuk untaian bunga yang terbuat dari kulit atau logam ditopang dengan per dengan warna kuning emas sehingga saat gandrung menari dapat bergoyang.

§ Basahan yaitu terdiri dari :

v Kemben, yang di buat dari kain beludru warna hitam dan juga di sebut “utuk” biasanya di bagian belakang dituliskan nama penarinya serta dihiasi halon kuning emas.

v Kelat bahu, yang di Bali di sebut Gelang Kana, terbuat dari kulit lembu berpahatkan bentuk ragam naga karangrang, dengan sunggingan dan warna dasar kuning emas.

v Ilat-ilat atau lamak,yang terbuat dari kain beludru warna hitam yang di hiasi dengan halon warna kuning emas.

v Pending, yaitu ikat pinggang dari logam selebar lebih kurang 4 cm biasanya berwarna kuning emas atau putih perak gemerlapan.

v Gelang dan cincin, biasanya juga merupakan hiasan harian bagi penari itu sendiri.

v Sembong, yaitu hiasan yang terbuat dari kain beludru yang di pergunakan sebagai hiasan penutup bagian depan pinggulnya dan di hiasi dengan halon warna kuning emas.

v Oncer, yaitu potongan kain kecil-kecil pendek berwarna kuning, putih, hijau dan merah yang di tempatkan di sekeliling pinggangnya sebagai pengisi pada bagian-bagian pinggang yang tidak tertutup oleh sembong dan biasa di sebut sembongan.

§ Sampur, yaitu sehelai selendang merah yang ujungnya diberikan rumbai-rumbai warna kuning emas dikalungkan di leher dan berjuntai kebawah, yang berfungsi sebagai penghias gerak-gerak tarinya, dahulu sewaktu dilakukan oleh seorang penari pria, pemasangannya diselipkan pada bagian pinggangnya.

§ Kain panjang, dengan pemakaian yang agak tinggi di atas mata kaki dan di bawah lutut biasanya dipergunakan kain panjang batik Gajah Oling dengan warna dasar putih.

§ Kipas, yang biasanya di pegang tangan kanan, kadang-kadang juga bagian kanan dan kiri.

§ Kaos kaki warna putih, penggunanya mungkin bersamaan dengan mulai di pergunakannya biola sebagai pengganti rebab.

Kemudian tentang unsur riasnya, dipergunakan borehan badan berwarna kuning emas, yang disamping berfungsi sebagai lulur dan merupakan unsur mempercantik warna kulit penarinya, semula juga mengandung unsur-unsur magis, sebagaimana penggunaan warna kuning emas untuk lambang keagungan, yang dipergunakan sejak jaman dahulu. Pakaian seperti tersebut diatas mirip dengan pakaian seorang penari istana.

Unsur-unsur busana dan rias inilah merupakan unsur kebudayaan yang timbul dari unsur-unsur kekeratonan dan hidup pula sampai sekarang walaupun keratonnya sendiri sudah tidak ada lagi.

2. Peralatan Musik Pengiringnya

Sebagai instrumen pengiring kesenian gandrung dipergunakan seperangkat gamelan yang terdiri dari :

- Biola atau baolah sebanyak 2 buah, yaitu bentuk instrumen yang berfungsi sebagai pembuat melodi gending yang dibawakannya, Tehnis penggesekan Biola serta penyajian lagu yang disajikan sesuai dengan tradisi daerahnya dan tidak sama dengan penggunaan biola pada jenis musik lain.

- Kethuk, 1 ancak yang terdiri dari 2 buah pencon, berfungsi sebagai pembuat irama dan memperta-jam rithme untuk menambah manisnya irama gendhing-gendhing yang dibawakan.

- Kendang, 1 buah atau kadang-kadang 2 buah, merupakan unsur pokok yang mampu menyatukan ritme serta tempo permainannya agar lebih harmonis disamping itu juga berfungsi sebagai pengatur irama dan penuntun atau pemantap unsur-unsur berbagai tari yang dibawakan oleh penari Gandung.

- Gong, 2 buah gong yang berfungsi sebagai pemanis suara indah pada akhir komposisi nada.

- Kluncing, 1 buah, yaitu bentuk segitiga terbuat dari besi dengan teknis memainkan menggunakan sebuah tongkat besi pendek dipukul-pukulkan pada kedua bagian sisi segitiga tersebut sehingga menghasilkan suatu suara yang berbentuk irama dan suasana yang meriah, biasanya penabuh peralatan ini jugaberfungsi sebgai pengudang atau pembimbing gandrung dalam penampilannya.

3. Gendhing-gendhing yang dibawakan

Dengan mempergunakan peralatan musik atau gamelan seperti tersebut diatas maka dihasilkanlah be-berapa bentuk gendhing-gendhing Gandrung. Perbendaharaan gendhing-gendhing Gandrung banyak ditulis sejak pada masa semi menjadi penari Gandrung dan disamping itu terdapat juga gendhing-gendhing yang diambil dari jenis-jenis kesenian lain. Secara keseluruhan gendhing-gendhingnya antara lain sebagai berikut :

1) Yang timbul sewaktu Semi menjadi Gandrung

- Widadari ;

- Ayun-ayun ;

- Jangkung kuning ;

- Sontepare ;

- Maenang ;

- Ladrang ;

- Celeng mogok.

2) Gending-gending yang timbul pada perkembangan berikutnya :

- Ugo-ugo ; - Setro Jawa ;

- Dang cap go mek ; - Gagak Setro ;

- Lia-liu ; - Gondang-gandung ;

- Rembe ; - Limar-limir ;

- Lebak-lebak ; - Tempetoya ;

- Ganggaliman ; - Gondariya ;

- Banyak angrem ; - Emek-emek ;

- Lindu anda ; - Dudk-duk Maling ;

- Kresnoan ; - Kembang jambu ;

- Punjari ; - Kelampokan ;

- Beldat : - Pantatan ;

- Tuting - Liwung ;

- Jaran Dawuk ; - Ancur-ancur ;

- Lirakantun ; - Sawunggaling ;

- Gerang Kalong ; - Guritan ;

- Gurit Mangir ; - Erang-erang ;

- Kembang waru ; - Blabakan ;

- Embat-embat ; - Kertas mabur ;

- Kenongo ; - Keyok-keyok ;

- Kusir-kusir ; - Tarik Jangkar ;

- Mujo ; - Taklam ;

- Takgentak ; - Kembang bendo ;

- Kembang asem ; - Kembang pring ;

- Krimping Sawi ; - Condro dewi ;

- Cokek ; - Tamu datang ;

- Gonjing ; - Rosari ;

- Ila-ili ; - Soloan ;

- Srengat-srengut ; - Montoran ;

- Opak-apem.

3) Gending-gending yang dibawakan sewaktu Semi menjadi Penari Seblang :

- Seblang-seblang

- Ukir kawin ;

- Cengkir gading ;

- Podo nonton.

4) Gending-gending yang berasal dari kesenian Sanyang :

- Sekar jenang ;

- Gebyar-gebyur ;

- Gulung-gulung agung ;

- Sekar potel ;

- Sandel Sate.

5) Gending-gending yang berasal dari kesenian Hadrah :

- Gumukan ; - Salatun ;

- Guritan ; - Ketelan ;

- Wangsalan ; - Santri mulih.

- Pak Haji ;

6) Gending-gending yang berasal dari gending-gending Bali :

- Surung Dayung ;

- Pecari Putih.

7) Gending-gending yang berasal dari gending-gending Jawa

- Pangkur ; - Sinom ;

- Godril ; - Grompol ;

- Eling-eling ; - Ladrang Manis ;

- Puspowarno ; - Widasari ;

- Sekar gadung ; - Ing-ing ;

- Pucung ; - Sukma ilang ;

- Kinanti ; - Titipati ;

- Gandarwo momong ; - Emplek-emplek ketepu

- Cincing Goling ; - Damarkeli ;

- Jangkuing-kuning ; - Bedat ;

- Gonggomino ; - Gondorio gandung ;

- Pacul goang ; - Kembang jeruk ;

- Giro Bali ; - Kembang glepang ;

- Gambir sawit ; - Bandrong ;

Dan masih banyak lagi gending-gending lain yang kemungkinan akan selalu betembah sesuai dengan apa yang dipelajarinya.

Dalam hal pengelompokan gending-gending tersebut mengingat tidak adanya dokumentasi secara lengkap bagi tiap-tiap kegiatan jenis-jenis kesenian yang mengitarinya, maka sangat mungkin sekali suatu jenis gending dianggap milik lebih dari satu jenis kesenian. Hal ini kiranya tidak menjadi soal. Yang jelas kemudian semuanya itu berakibat bertambahnya jumlah perbendaharaan gending-gending bagi kesenian gandrung ini.

BAB V.

PERANAN KESENIAN GANDRUNG PADA

MASYARAKAT BANYUWANGI

1. Masa Kerajaan

Pada masa kerajaan kesenian Gandrung belum dikenal bahkan kemungkinan belum lahir, hanya bentuk-bentuk kesenian yang penampilannya hampir menyerupai kesenian gandung sudah ada, seperti kesenian Tayub yang berkembang di Jawa.

2. Masa Perjuangan

Kesenian merupakan sarana efektif untuk meng-ungkapkan sesuatu yang terpendam dalam diri jiwa manusia, melalui kesenian hasrat yang terpendam dalam bathin manusia dapat diekspresikan, sehingga keadaan bathin baik yang gundah maupun yang gembira bisa tergambar dalam kreasi berkesenian.

Kesenian Gandrung merupakan salah satu diantara hasil karya seni yang menjadi sarana untuk mengekspresikan keaqdaan bathin masyarakat Banyuwangi pada masa penjajahan. Syair-syair yang dibawakan dalam gendhing-gendhing gandrung sarat dengan pesan-pesan yang mengisyaratkan berbagai hal berksaitan dengan perjuangan masyarakat dalam mengusir penjajah. Pergelaran kesenian Gandrung yang dilakukan secara berkeliling kampung pada masa perjuangan merupakan upaya-upaya untuk membantu para pejuang dalam mengumpulkan bekal perjuangan yakni dari imbalan yang didapatkan berupa bahan-bahan pangan, disamping itu juga bentuk-bentuk kegiatan intelegensia yang sangat efektif untuk memantau kekuatan dan kegiatan musuh.

Itulah peranan penting kesenian gandrung pada masa perjuangan kemedekaan yang hingga sekarang masih membekas di kalangan seniman Banyuwangi dalam mebuat syair-syair lagu yang bernafaskan perjuangan kendati kemerdekaan sudah diraih.

3. Masa Kemerdekaan

Perjuangan untuk meraih kemerdekaan memang sudah dicapai, namun mempersiapkan diri untuk menjadi bangsa yang merdeka masih perlu terus dipersiapkan baik secara mental maupun pisik, untuk itu sebagai warga masyarakat yang ikut bertanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan upaya-upaya untuk memperbaiki taraf hidup melalui media seni masih terus berlangsung.

Dalam syair-syairnya yang dibawakan kesenian gandrung banyak mengandung petuah-petuah untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh semangat, kesabaran, kejujuran dan menjaga kerukunan adalah bentuk kepedulian dan sumbang sih kesenian gandrung dalam mengkondisikan masyarakat untuk mengisi kemerdekaan.

4. Masa Sekarang

Suatu bentuk seni yang telah mendapat tempat dihati masyarakatnya, kesenian gandrung memiliki pengaruh yang sangat luar biasa dalam perkembangan berkesenian di Kabupaten Banyuwangi. hampir semua aspek yang terdapat dalam kesenian gandrung menjadi acuan dan sumber inspirasi bagi jenis-jenis kesenian trandisional Banyuwangi.

Dari musik, lagu, gerak dan kostum yang terdapat dalam kesenian gandrung menjiwai kreasi-kreasi dalam semua jenis seni baik tradisional maupun modern yang ada di Banyuwangi bahkan telah banyak mengilhami pada cabang-cabang seni yang lain seperti seni rupa

BAB VI.

GANDRUNG SEBAGAI MASKOT PARIWISATA BANYUWANGI

Kesenian Gandrung adalah merupakan kesenian asli masyarakat Using Banyuwangi masih digemari oleh masyarakatnya bahkan pada tahun 70 an kesenian Gandrung mengalami puncak keemasannya dan hampir semua kehidupan berkesenian berpusat pada kesenian Gandrung. Perkembangan yang sangat luar biasa ini menjadikan kesenian Gandrung sering diminta tampil di Istana Negara pada acara-acara kenegaraan. Dan penampilan ini akhirnya banyak mempesona para tamu Negara dari berbagai bangsa sehingga kesenian Gandrung sangat diminati dan sering diundang untuk tampil di beberapa Negara di dunia seperti Hongkong, Amerika, Jepang, Cina, Belanda dan Korea.

Menyadari akan potensi daya tarik kesenian Gandrung yang sangat luar biasa dan didukung oleh masyarakat Banyuwangi yang sangat menjunjung tinggi kesenian tradisionalnya maka melalui Surat Keputusanm Bupati Banyuwangi tanggal 31 Desember 2002 Nomor 173 Tahun 2002 Gandrung ditetapkan sebagai Maskot Pariwisata Banyuwangi.

Dengan diangkatnya Gandrung sebagai Maskot Pariwisata Banyuwangi maka banyak berpengaruh terhadap pengembangan seni Budaya Banyuwangi sertasecara tidak langsung mengandung konsekuensi terhadap kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan budaya Banyuwangi, diantaranya pada setiap acara budaya yang resmi selalu diawali dengan penampilan tari Jejer Gandrung sebagai penyambutan dan ucapan Selamat Datang.

BAB VII

PENUTUP

Kesenian Gadrung adalah kesenian asli rakyat Using Banyuwangi, yang ditilik dari sejarah perkem-bangannya penuh dengan berbagai tantangan dan perjuangan dalam mewujudkan eksistensi masyarakat using Banyuwangi. Semangat yang dikobarkan melalui gendhing-gendhing yang dibawakannya mampu memba lut dan menyembuhkan luka para pejuang untuk mempertahankan tanah kelahirannya. Masyarakat Using yang secara historis merupakan masyarakat Blambangan memiliki jiwa yang sangat pemberani. Kerajaaan Blambangan yang secara geografis memiliki wilayah yang sangat subur menjadi daerah yang diperebutkan untuk dikuasai sehingga berbagai suku bangsa termasuk Kompeni Belanda berdatangan ke wilayah ini berusaha untuk menguasainya dan masyarakat using yang sangat pemberani tersebut sangat gigih mempertahankan tanah kelahirannya serta berkat kegigihan para seniman gandrung pada saat itu keberanian para pejuang semakin tinggi sehingga mampu mempertahankan keberlangsungan masyarakat nya.

Sebagai seni yang sudah mendarah daging dalam masyarakatnya peranan kesenian Gandrung tidak hanya pada saat perjuangan saja namun hingga saat sekarang ini masih sangat mewarnai bagi kehidupan seni budaya masyarakat using Banyuwangi. Hampir semua jenis kesenian yang hidup dan berkembangan di Banyuwangi inspirasinya berasal dari kesenian Gandrung.

Tidaklah berlebihan manakala masyarakat Banyuwangi terutama para seniman dan budayawan Banyuwangi bertekad untuk mempertahanklan dan melestarikan kesenian Gandrung dan bahkan pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah mengangkat kesenian Gandrung ini sebagai Maskot Pariwisata. Dan sudah menjadi tanggung jawabnya apabila kesenian Gandrung diajukan untuk dipatenkan sebagai kekayaan intelektual komunitas Masyarakat Using Banyuwangi.

Semoga upaya-upaya uang dilakukan baik seniman, budayawan, masyarakat dan pemerintah untuk tetap mempertahankan kesenian Gandrung sebagai kesenian rakyat yang digemari, disukai dan ditum,buh kembangkan menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar